Alexander Yang Agung mengalahkan Darius ditahun 331 S.I di Arbela
(sebelah timur Tigris). Alexander datang dengan tidak menghacurkan peradaan dan
kebudayaan Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha untuk menyatukan kebudayaan
Yunani dan Persia. Ia sendiri sudah mulai berpakaian Persia dan orang-orang Persia banyak yang
diangkatnya menjadi pengiring-pengiringnya. Ia kawin dengan Statira, anak
Darius dan pada waktu itu juga 24 dari jendral-jendralnya dan 10.000 prajurit
kawin atas anjurannya dengan wanita-wanita Persia di Susa. Selain dari
mengadakan hubungan-hubungan perkawianan ia dirikan pula kota-kota dan
koloni-koloni yang penduduknya diatur begitu rupa sehingga terdiri dari dua
golongan Yunani dan Persia.
Setelah Alexander meninggal, kerajaan yang besar itu terbagi tiga :
Macedonia di Eropa, Kerajaan Ptolemeus di Mesir dengan Alexandria sebagai Ibu Kota
dan kerajaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan Kota-kota penting Antioch di
Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persi sebelah Timur.
Ptolemeus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk
menyatukan kedua peradaban Yunani dan Iran. Sungguhpun usaha itu tidak
berhasil, kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan bekas besar di
daerah-daerah ini. bahasa administrasi yang dipakai di sana ialah bahasa
Yunani. Di Mesir dan Syria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam ke
dalam dua daerah itu dan hanya ditukar dengan bahasa Arab, baru di abad ke VII
M. oleh Khalifah Bani Umayyah A. Malik Ibn Marwan (685-705M), Khalifah ke V
dari Bani Umayyah. Alexandria, Antioch dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan falsafat Yunani. Di abad III M, pusat-pusat kebudayaan Yunani
ini ditambah dengan Kota Judishapur yang letaknya tidak jauh dari Bagdad
(didirikan tahun 762 M). Di sana sewaktu kota itu masuk ke bawah kekuasaan
Islam, telah terdapat suatu akademik dan rumah sakit. Di ketika raja Bani Abbas
al-Mansur sakit di tahun 765 M. atas nasehat menterinya Khalid Ibn Barmak
sendiri berasal dari Bactra. Keluarga Barmak dikenal sebagai keluarga yang
gemar pada ilmu pengetahuan serta falsafat dan condong pada paha-paham Mu’tazilah.
Harun Ar-Rasyid menajdi Khalifah di tahun 786 M, dan sebelum ia
belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn Khalid Ibn Barmak dan dengan
demikian banyak dipengaruhi oelh kegemaran keluarga Barmak pada
ilmu-pengetahuan dan falsafat. Di bawah pemerintahan Harun Ar-Rasyid
penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab pun
dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuscripts.
Pada mulanya yang dipentingkan ialah buku-buku mengenai kedokteran tetapi
kemudian juga mengenal ilmu pengetahuan lain dan falsafat. Buku-buku itu
terlebuh dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan
di Mesopotamia di waktu itu kemudian baru kedalam bahasa Arab. Akhirnya
penterjemahan diadakan langsung ke dalam bahasa Arab.
Penterjemahan-penterjemahan termasyhur dari zaman itu antara lain
adalah :
- Hunayn
Ibn Ishaq (w. 873 M), seorang Kristen, yang pandai berbahasa Arab dan Yunani
(pernah berkunjung ke Yunani). Ia terjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa
Siria dann 14 buku lain ke dalam bahasa Arab. Menurut keterangan, Hunayn
mempunyai 90 pembantu dan murid dalam kegiatan penterjemahan ini.
- 2.
Anak
Hunayn bernama Ishaq (w. 910 M)
- 3.
Thabit
Ibn Qurra (825-901 M), seorang penyembah bintang.
- 4.
Qusta
Ibn Luqa, seorang Kristen.
- 5.
Hubaysh,
kemenakan Hunayn.
- 6.
Abu
Bishr Matta Ibn Yunus (w. 939 M), juga seorang Kristen.
Dengan kegiatan penterjemahan ini, sebahagian besar dari
karangan-karangan Aritoteles, sebahagian tertentu dari karangan-karangan Palto
serta karangan-karang mengenai neo-Platonisme, sebahagian besar dari
karangan-karangan Galen serta karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan
kedokteran lainnya, dan juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan Yunani
lainnya dapatlah dibaca oleh alim-ulama Islam. karangan-karangan tentang
falsafat banyak menarik kaum Mu’tazilah, sehingga mereka banyak dipengaruhi
pemujaan akal yang terdapat dalam Falsafat Yunani. Abu al-Huzail al-Allaf,
Ibrahim al-Nazzam, Bishr Ibn al-Mu’tamir dan lain-lain banyak membaca buku-buku
falsafat. Dalam bahasa mereka mengenai teologi Islam, daya akal atau logika
mereka jumpai dalam falsafat Yunani banyak mereka pakai. Tidak mengherankan
kalau Theologi kaum Mu’tazilah mempunyai corak rasionil dan Liberal.
Tidak lama kemudia timbullah di kalangan Umat Islam sendiri
filosof-filosof dan ahli-ahli ilmu-pengetahuan, terutama dalam ilmu kedokteran,
seperti Abul Abbasd al-Sarkasyi (abad ke-9 M), Al-Razi (abad ke-10 M) dan
lain-lain. Filosof Islam yang pertama, muncul di abad ke-9 M dalam diri
al-Kindi, untuk diikuti oleh filosof-filosof yang lain seperti al-Razi,
al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain. Filosof-filosof ini banyak dipengaruhi oelh
pemikiran filosof-folosof Yunani, terutama Aristoteles, Plato dan Plotinus.
Dalam lapangan ilmu-pengetahuan dikenallah ahli-ahli seperti
Muhammad, Ahmad, Hasan, keetiga-tiganya ahli matematika, al-Asma, (740-828 M) yang mengarang buku tentang
pengetahuan alam, Jabir dalam bidang kimia, al-Biruni dalam bidang astronomi,
geografi, sejarah dan matematika, Ibn al-Haitham dalam bidang optika dan
lain-lain.
Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Misistisme dalam Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, 1978, Cet II, Hal : 10-13.